Wednesday, 6 April 2016

Resensi Novel “Montase” Karya Windry Ramadhina



Resensi Novel “Montase” Karya Windry Ramadhina


Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Kali ini saya akan mencoba untuk meresensi sebuah novel yang bertemakan tentang cinta. Novel ini berjudul “Montase” Karya Windry Ramadhina, yang diterbitkan oleh Gagas Media tahun 2012 dengan tebal 357 hlm.
                Novel ini berlatar belakang di sebuah kampus, yaitu Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Dimana sang pemeran utama menempuh pendidikan nya di sana, dengan jurusan Manajemen Perfilman, sebuah jurusan yang tidak terlalu disukai nya. Sang tokoh utama ini bernama Rayyi anak seorang produser terkenal bernama Irianto Karnaya, sebagai seorang anak ia di haruskan untuk mematuhi perintah dari sang orang tua, termasuk masa depan dan cita-cita yang diidam-idamkannya. Hal ini adalah gejolak besar yang dialami oleh sang tokoh utama, Rayyi yang memiliki cita-cita untuk menjadi seorang sineas Film Dokumenter yang terkenal, ternyata harus memendam cita-cita yang diidam-idamkan itu, hal ini disebabkan karena orang tua Rayyi menginginkan Rayyi untuk menjadi seorang produser yang terkenal seperti dirinya. Hingga akhirnya ia pun terpaksa harus mengambil jurusan Manajemen Perfilman, padahal dalam hati kecilnya tersembunyi keinginan yang kuat untuk mengambil jurusan Film Dokumenter. Dan karena keinginannya yang kuat ini ia pun diam-diam mengikuti kelas Dokumenter IV

Dikelas itu ia bertemu dengan seorang mahasiswi Jepang bernama Haru, itu bukanlah pertemuan pertama mereka, sebenarnya mereka pertama kali bertemu pada acara Festival Film Dokumenter Greenpeace dan dalam acara itu karya Haru berhasil mengalahkan karya Rayyi. Hal itulah yang membuat Rayyi menjadi kesal kepada Haru, namun rasa kekesalan itu lama kelamaan memudar dan berubah menjadi cinta. Hal ini berawal dari tugas kelas Dokumenter IV yang membuat Rayyi membuat film Dokumenter tentang Haru. Hasil karya Rayyi ini membuat sang dosen pengampu bernama Samuel Hardi (seorang Sineas Indonesia yang terkenal) terkesan dan merekomendasikan agar Rayyi dan Haru mengikuti ajang IDFA (International Documentary Film Festival Amsterdam) dan mereka berdua pun menerimanya. Tetapi, hal itu tidak bertahan lama karena ayah Rayyi (Irianto Karnaya) menginginkan agar Rayyi fokus kuliah manajemen perfilman, hingga membatasi dan mengawasi segala kegiatan yang dilakukan oleh Rayyi, hingga akhirnya Rayyi memutuskan untuk berhenti dari kelas Dokumenter IV dan mengundurkan diri dari ajang IDFA. Mengetahui hal ini Samuel Hardi pun mengajak Rayyi ke studio nya dan berusaha menyakinkan Rayyi bahwa ia berbakat dalam perfilman dokumenter, namun usahanya itu sia-sia karena Rayyi tetap kukuh dengan pendiriannya.

Beberapa haripun berlalu, Rayyi yang sekarang jarang bertemu dengan Haru dikagetkan dengan kabar bahwa Haru ingin kembali ke Jepang. Mendengar kabar itu, Rayyi pergi meninggalkan kelas dan langsung ke bandara. Ketika sampai di bandara Rayyi dapat bertemu dengan Haru, Rayyi menanyakan alasan Haru kembali ke Jepang dengan sangat tiba-tiba, Haru pun menjelaskan bahwa ia menderita sakit yang sangat parah, hingga waktu yang tersisa tinggal sedikit, ia pun mengiginkan untuk menghabiskan sisa waktunya bersama keluarga. Dengan berat hati Rayyi pun melepaskan Haru pergi.

Haru pun berpesan kepada Rayyi agar ia mengejar mimpinya, dengan mengungkapkan kata-kata terakhirnya sebelum meninggalkan Indonesia:
“Kalau begitu, kau tidak boleh menyerah. Jangan berhenti mengejar impianmu, atau kau akan menyesal.”
“Kita tidak hidup selamanya, Rayyi. Karena itu, jangan buang-buang waktu untuk sesuatu yang tidak kita inginkan.”

Kata-kata itu selalu mengiang-ngiang dalam pikiran Rayyi hingga Rayyi memutuskan untuk melanjutkan cita-citanya menjadi sineas film dokumenter, dan memberanikan diri untuk memberitahukannya kepada ayahnya. Sudah dapat kita prediksi, ayah Rayyi tidak akan menyetujuinya  hal ini membuat Rayyi meninggalkan rumah. Rayyi pun pergi ke studio Samuel Hardi, dan meminta pekerjaan serta tempat tinggal disana. Samuel Hardi pun menerimanya.

Sudah berbulan-bulan Rayyi bekerja untuk Samuel Hardi, dan disetiap kesempatan ia selalu mengirimkan e-mail ke Haru. Namun, tiba-tiba saja Rayyi menerima kabar dari kedua orang tua Haru bahwa Haru telah meninggal dunia. Rayyi pun merasa terpukul, namun ia tidak patah semangat. Dengan bayang-bayang kehadiran Haru membuat Rayyi memiliki alasan untuk melanjutkan hidup dan menggapai semua cita-citanya.

Waktu terus bergulir, hingga tak terasa 2 tahun telah berlalu sejak kabar kematian Haru. Tiba-tiba saja datang sebuah surat dari jepang untuk Rayyi, yang bertuliskan nama Haru. Hal ini membuat Rayyi berharap bahwa haru masih hidup, lalu ia pun pergi ke Jepang. Setelah sampai di jepang harapannya pun musnah, ternyata yang mengirimkan surat itu adalah keluarga Haru, itu adalah surat terakhir dari Haru untuk Rayyi. Dalam surat itu Haru berharap agar Rayyi pergi ke jepang dan dapat melihat musim gugur, yaitu saat bunga-bunga sakura berguguran. Harupun berharap agar Rayyi mau melupakannya seperti sakura-sakura yang jatuh itu, hingga akhirnya musim semi akan datang dengan membawa bunga-bunga sakura yang baru. Sesampainya di Jakarta Rayyi pun melakukan debut pertamanya dalam dunia perfilman dokumenter, dengan menampilkan film dokumenter tentang Haru.

Novel ini benar-benar menguras air mata saya, dalam pemaparannya sang penulis Windry Ramadhina memaparkan dengan sangat elok dan bagus dengan kata-kata romantis yang menggugah hati. Selain dari keromantisannya, novel ini juga bisa membuat para pembaca menjadi tertantang untuk mewujudkan apa yang benar-benar dicita-citakannya. Dandi novel ini pula terdapat banyak sekali amanat yang tersirat.  

Dan inilah akhir dari resensi saya tentang novel “Montase” ini, saya pun berharap agar para pembaca dapat membaca novel ini, dan dapat merasakan keromantisan dan perjuangan sang tokoh. Dan ini adalah kata-kata yang saya kutip di cover belakangnya :

Aku berharap tak pernah bertemu denganmu.
Supaya aku tak perlu menginginkanmu, memikirkanmu dalam lamunku.
Supaya aku tak mencarimu setiap kali aku rindu.
Supaya aku tak punya alasan untuk mencintaimu. Dan terpuruk ketika akhirnya kau meninggalkanku.
Tapi…,
kalau aku benar-benar tak pernah bertemu denganmu,
mungkin aku tak akan pernah tahu seperti apa rasanya berdua saja denganmu.
Menikmati waktu bergulir tanpa terasa.
Aku juga tak mungkin bisa tahu seperti apa rasanya sungguh-sungguh mencintai…
dan dicintai sosok seindah sakura seperti dirimu.

. ….. SELAMAT MEMBACA  …..

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

No comments:

Post a Comment